Daden Robi Rahman

Pendahuluan

Islam sebagai agama universal memiliki kandungan ajaran dan konsep yang integral. Berbagai aspek kehidupan dibahas dan diaturnya. Ia laksana cahaya yang menyinari seluruh lapisan dan bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Islam sebagai way of life merupakan peradaban yang tidak mendikotomikan dunia dan akhirat, jasad dan ruh, wadah dan isi, materi dan nilai.

Dalam bidang politik misalnya, Islam mendudukannya sebagai sarana penjagaan urusan umat (ri’āyah syu-ūn al-ummah). Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, karena Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syari’at Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan, materi, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu kedudukan politik dalam Islam sangat urgent, mengingat kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syari’at Islam dapat diwadahi oleh politik.

Islam dan politik integratif terwujud pada beberapa pemikir dan politisi muslim seperti Al-Mawardi (w.1058 M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibn Abd al-Wahhab (w.1793 M), Jamaluddin al-Afghani (w.1897 M), dan Muhammad Abduh (w.1905 M). Mereka merupakan beberapa pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik. Namun selain beberapa nama itu, tokoh pergerakan Islam dari tanah Mesir, Hasan al-Banna memiliki pemikiran yang menarik dalam bidang politik.

Bahkan beberapa kalangan tokoh muslim seperti Thanthawi Jauhari memandang al-Banna sebagai pemikir, politisi, dan pejuang besar di masanya dan setelahnya. Sebagaimana dikutip Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya, Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.”

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemikiran politik Hasan al-Banna. Bagaimana ia menuangkan ide dan gagasannya, sehingga bisa mewujudkan organisasi Islam yang berpolitik dengan semangat pembaruan pada zamannya dan menjadi cermin dan rujukan pada masa setelahnya.

Mengenal Hasan al-Banna

Hasan al-Banna lahir di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir pada hari Ahad, tanggal 14 Oktober 1906 yang bertepatan dengan 25 Sya’bān 1324. Nama lengkap beliau, Hasan ibn Ahmad ibn ‘Abdurrahman al-Banna. Ia berasal dari keluarga pedesaan kelas menengah.

Al-Banna merupakan pribadi berkharisma yang dikenal cerdas, shaleh, mulia, dan berpengaruh dalam bentangan sejarah, baik di dataran Arab khususnya, dunia Islam umumnya, termasuk dunia Barat.[1] Ia pejuang yang memperjuangkan Islam sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah sampai titik darah penghabisan. Banyak kalangan menilai bahwa beliau dibunuh oleh penembak misterius yang diyakini sebagai penembak “titipan” pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo Mesir. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang luwes dalam berdakwah. Wilayah dakwah beliau bukan hanya di kalangan intelektual, tetapi di kalangan masyarakat yang berpengetahuan rendah sekalipun. Ia sering berdakwah di warung-warung kopi sambil berkumpul dengan masyarakat selepas lelah bekerja seharian. Dimana dengan metode dan cara beliau seperti itulah, efektifitas dakwah berjalan. [2]

Ayahnya bernama Ahmad, putra bungsu kakeknya yang bernama Abdur Rahman, seorang petani. Ahmad dibesarkan dalam suasana yang jauh dari pertanian. Untuk memenuhi keinginan ibunya, ia masuk ke Pesantren Tahfidzul Qur’an di kampungnya kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Ibrahim Pasha di Iskandariyah. Di tengah masa studi, Ahmad juga bekerja di toko reparasi jam hingga menguasai yang terkait dengan jam. Dari profesi inilah kemudian ayahnya dikenal dengan as-Sā’ati (tukang reparasi jam). Selain itu, Ahmad juga menulis sebuah kitab berjudul al-Fath al-Rabbānī fī Tartīb Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal al-Syaibānī.

Sedangkan ibunda dari Hasan al-Banna bernama Ummu Sa’d Ibrahim Saqr. Ibundanya adalah tipologi wanita yang cerdas, disiplin, cerdik dan kokoh pendirian. Apabila telah memutuskan sesuatu sulit bagi Ummu Sa’d untuk menarik mundur keputusannya. Ini senada dengan sebuah pepatah yang berbunyi, “Jika layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.” Perhatiannya pada pendidikan membuatnya juga bertekad untuk menyekolahkan Hasan al-Banna hingga ke pendidikan tinggi. Ummu Sa’ad memiliki delapan delapan orang anak, yang masing-masing adalah: Hasan al-Banna, Abdurrahman, Fatimah, Muhammad, Abdul Basith, Zainab, Ahmad Jamaluddin, dan Fauziyah.

Hasan al-Banna menyelesaikan pendidikan dasarnya di Mahmudiyah. Di tahun ketujuh dalam usianya, lelaki yang selalu meraih rangking pertama dalam semua jenjang sekolahnya ini, menyelesaikan hafalan separuh al-Qur’an, kemudian menyempurnakan hafalannya di sekolah diniyah al-Rasyad. Setelah itu, melanjutkan ke sekolah Mu’allimin Awwaliyah di Damanhur, dan menamatkan pendidikan tingginya di Darul Ulum (1923-1927).

Pada 1927, setelah menamatkan pendidikan tinggi di Dār al-‘Ulūm, al-Banna menjadi guru Sekolah Dasar di Ismailiyah selama sembilan belas tahun. Di tahun 1946, ia berpindah ke Kairo, kemudian mengundurkan diri dari jabatan sebagai guru negeri. Setelah itu, al-Banna berkonsentrasi pada surat kabar harian al-Ikhwan al-Muslimun.

Lelaki yang aktif dalam organisasi sosial dan keagamaan ini mempunyai perpustakaan besar. Di dalam perpustakaan ini berisi ribuan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan empat belas majalah berkala yang terbit di Mesir. Al-Muqtathaf, al-Fath, dan al-Manar, adalah beberapa majalah yang ada di perpustakaan tersebut. Hingga sekarang, perpustakaan ini masih tetap berdiri, dan dikelola oleh putranya bernama Saiful Islam.

Beliau sangat aktif menulis di berbagai majalah, diantaranya tabloid mingguan Al-Ikhwan al-Muslimun, dimana pada tabloid ini beliau menulis dua macam artikel, berupa tema ilmu agama seperti tafsir, akidah, fiqh, fatwa, tasawwuf, akhlak, dan ceramah. Yang lainnya berupa tema-tema umum, seputar masalah sosial, politik, dan etika.

Kemudian majalah al-Nadzir, yang juga diterbitkan Ikhwanul Muslimin setelah tabloid al-Ikhwan al-Muslimun. Majalah ini diterbitkan dengan tujuan untuk menyebarkan fikrah, harakah, dan pemahaman bagi anggota Ikhwan. Sisi perhatiannya lebih kepada kajian sosial politik. Selanjutnya majalah al-Manar yang diterbitkan Rasyid Ridha pada 15 Maret 1898. Hasan al-Banna diminta untuk menulis tentang tafsir al-Qur’an oleh keluarga Rasyid Ridha setelah kewafatan pendirinya tersebut. Beliau juga aktif menulis di majalah al-Ta’aruf, dimana al-Banna menulis dalam rubrik fiqh dan politik.[3]

Hasan al-Banna merupakan pendiri organisasi besar, Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini dibentuk pada bulan Dzulqa’dah 1347 H/1928 di kota Ismailiyah. Gerakan ini tumbuh dengan pesat dan tersebar di berbagai kelompok masyarakat. Sebelum mendirikan Ikhwan, al-Banna juga ikut mendirikan sebuah jamaah sufi bernama Thariqah Hashafiyah dan Jamaah Syubban al-Muslimin. Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia).

Pribadi Hasan al-Banna menarik banyak kalangan. Abul Hasan Ali an-Nadwi, memberikan kesaksian tentang al-Banna: “Pribadi itu telah mengejutkan Mesir, dunia Arab dan dunia Islam dengan gegap gempita dakwah, kaderisasi, serta jihad dengan kekuatannya yang ajaib. Dalam pribadi itu, Allah Swt, telah memadukan antara potensi dan bakat yang sepintas tampak saling bertentangan di mata para psikolog, sejarawan, dan pengamat sosial. Di dalamnya terdapat pemikiran yang brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan yang bergelora, hati yang penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam lagi berkesan. Di situ ada kezuhudan dan kesahajaan, kesungguhan dan ketinggian cita dalam menyebarkan pemikiran dan dakwah, jiwa dinamis yang sarat dengan cita-cita, dan semangat yang senantiasa membara. Di situ juga ada pandangan yang jauh ke depan…”[4]

Pemikiran Politik Hasan al-Banna

Mesir sebagai background perjuangan Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat dengan tantangan dakwah Islam waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi Ikhwanul Muslimin –yang notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen perhatiannya dalam pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyyah Ikhwanul muslimin yang penting adalah bidang politik. Politik disini, sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan dengan urusan hukum, sistem negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dari negara-negara Islam ataupun non Islam, hubungan negara dengan kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang lainnya dari ketentuan-ketentuan yang sekian banyaknya.[5]

Sebelum adanya dakwah Hasan al-Banna dan berdiri madrasahnya, bidang politik sangat kurang diperhatikan oleh organisasi-organisasi Islam waktu itu. Maka yang terjadi, konsep politik bertolak belakang dengan konsep agama, sebagaimana hitam dan putih. Dengan demikian, pada waktu itu, orang bisa diklasifikasi kepada dua macam, (1) seorang agamawan dan (2) seorang politisi. Begitupun dengan organisasi, ada (1) organisasi keagamaan dan (2) organisasi politik. Seorang agamawan tidak boleh sibuk dengan politik, sebagaimana politisi tidak boleh sibuk dengan agama. Begitu juga yang terjadi pada organisasi.[6]

Hasan al-Banna menembus pemahaman adanya dikotomi agama dan politik tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu yang dilestarikan oleh kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam memerangi dan meniadakan pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang benar, yakni kesempurnaan Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk politik, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul SAW., sejarah para sahabat, dan amalan umat sepanjang lebih dari 14 abad.

Hasan al-Banna mempertegas, “jika kalian ditanya, kepada apa kalian akan menyeru? Maka jawablah: Kami akan menyeru kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW., dan pemerintahan merupakan bagian dari Islam, dan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan dari keniscayaan-keniscayaannya.” Selanjutnya ia menjelaskan, “jika dikatakan kepada kalian: Ini adalah politik. Maka jawablah: Ini adalah Islam. Kami tidak mengenal pembagian-pembagian ini!.”[7]

Pendidikan politik di Madrasah Hasan al-Banna berdiri diatas sejumlah motivasi, diantaranya:

1. Memperkuat kesadaran dan rasa terhadap kewajiban pembebasan tanah Islam dari seluruh kekuasaan asing dan kerakusan kolonial penjajah dari negeri-negeri Islam dengan setiap perantara yang disyari’atkan.[8] Hal ini didasarkan ayat yang menyatakan, “Dan kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.”[9] Juga berlandaskan firman Allah, “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman.”[10]

2. Membangun kesadaran dan rasa kewajiban mendirikan hukum Islam dan keniscayaan-keniscayaannya yang merupakan kewajiban syar’i, dan keniscayaan negeri dan kemanusiaan.[11] Kewajiban ini telah Allah wajibkan kepada para hakim (penguasa) dan rakyatnya supaya kembali kepada hukum-Nya dan hukum Rasul-Nya dalam setiap urusan-urusan mereka. Mengenai kewajiban para hakim (penguasa) Allah berfirman,

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”[12]

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”[13]

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”[14]

Sedangkan kewajiban rakyat, Allah jelaskan dalam firman-Nya,

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[15]

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”[16]

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[17]

Hasan al-Banna dalam karyanya, Ilā al-Syabāb, sebagaimana dikutip Yusuf al-Qaradhawi, mengatakan,

“Kami menginginkan pemerintahan muslim yang menuntun masyarakat ke masjid dan menuntun orang-orang kepada petunjuk Islam setelahnya, sebagaimana pemerintahan Islam telah menuntun para sahabat Rasul SAW, Abu Bakar dan Umar sebelumnya. Oleh karena itu, kami tidak mengetahui sistem hukum mana yang tidak disandarkan atas dasar Islam dan dari Islam. Kami tidak mengetahui partai-partai politik ini dan dengan kesulitan-kesulitan taqlid ini yang dipaksakan kepada kami oleh ahli kufur dan musuh-musuh Islam untuk berhukum dan mengamalkannya.. Dan kami akan mengaplikasikan untuk menghidupkan sistem hukum Islam dengan berbagai aspeknya dan membentuk pemerintahan Islam yang berdasar sistem ini.”[18]

Lebih tegas lagi al-Banna menjelaskan, khususnya ketika ia ditanya mengenai posisi Ikhwanul Muslimin dari hukum, ia menjawab, sebagaimana tertuang dalam karyanya, Risālah al-Mu’tamir al-Khāmis,

Segolongan lain dari masyarakat bertanya: Apakah dalam manhaj al-Ikhwan al-Muslimin akan membentuk pemerintahan dan menuntut pelaksanaan hukum? Apa wasilah mereka untuk hal tersebut? Aku tidak mengajak mereka yang bertanya dalam kebingungan dan kami tidak kikir untuk menjawab pertanyaan mereka. Al-Ikhwan al-Muslimun berjalan pada setiap langkah, harapan, dan amal mereka diatas petunjuk Islam yang lurus sebagaimana mereka pahami dan jelaskan dari pemahaman mereka ini dalam awal kalimat ini –‘Dan Islam ini yang diimani al-Ikhwan al-Muslimun menjadikan pemerintahan sebagai satu rukun dari rukun-rukunnya dan berpegang teguh untuk mengamalkan sebagaimana berpegang teguh atas petunjuk. Dahulu khalifah ketiga radhiyallahu ‘anhu (‘Utsman ibn ‘Affan) berkata: “Sesungguhnya Allah pasti akan menahan dengan kekuasaan apa yang tidak bisa ditahan dengan al-Qur’an.” Dan sesungguhnya Nabi SAW. telah menjadikan hukum sebagai satu lembar dari lembaran-lembaran Islam. Sedangkan hukum terbilang dalam kitab-kitab fikih kami dari persoalan akidah dan ushul, bukan persoalan fikih dan cabang. Maka Islam adalah hukum dan aplikasi (amal), sebagaimana ia merupakan tasyrī’ (undang-undang) dan ta’līm (pengajaran), qānūn (hukum) dan ketentuan. Tidak ada seorang pun yang mengingkari hal itu.”[19]

3. Membangun kesadaran dan rasa kewajiban persatuan Islam dan keniscayaan-keniscayaannya. Persatuan Islam adalah kewajiban agama dan keniscayaan dunia.[20] Kewajiban persatuan Islam adalah niscaya karena Allah menjadikan kaum muslimin sebagai “umat yang satu (ummah wāhidah), sebagaimana firman-Nya, “Dan sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertaqwalah kepada-Ku.”[21] Islam mewajibkan kepada kaum muslimin supaya mereka mempunyai satu imam, meskipun negeri-negeri mereka tersebar. Dimana imam merupakan pemimpin negara dan simbol persatuan mereka, sehingga Rasul SAW. mengatakan, “Barang siapa yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at kepada imam, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah.”[22]

Dalam pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme (‘Urūbah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep nasionalisme (Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah).

1. Arabisme

Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna. Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urūbah (Arabisme) sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.”

Dalam riwayat lain lebih dijelaskan mengenai Arabisme yang dimaksud Al-Banna, sebagaimana riwayat yang diterima dari Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya, Arab itu adalah lisan (bahasa), maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab.”[23]

Dalam hadits ini, tulis Hasan al-Banna, kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa Arab yang membentang dari Teluk Persi sampai Maroko dan Mauritania di Lautan Atlantik, semuanya adalah bangsa Arab. Mereka dihimpun oleh akidah serta dipersatukan oleh bahasa dan teritorial yang satu. Tidak ada yang memisahkan dan membatasinya. Menurut al-Banna, ketika kita beramal untuk Arab, berarti kita juga beramal untuk Islam dan untuk kebaikan dunia seisinya.[24]

Menurut al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun bersatu dengan namanya.

Selaras dengan penjelasan tersebut, Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan Kebangkitan Islam, mengatakan bahwa dapat disimpulkan beberapa unsur dari pemikiran al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan tidak berarti merendahkan pihak lain.[25] Arabisme dengan tujuan untuk membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan.

2. Patriotisme

Dalam memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.” Kedua, Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”

Patriotisme juga memiliki prinsip di mata Hasan al-Banna. Ia mengatakan: “Suatu kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali dengan itu.”

Al-Banna juga mengkiritik pandangan tentang patriotisme yang hanya berpikir untuk membebaskan regionalnya saja. Seperti dalam kasus masyarakat Barat yang lebih cenderung pada pembangunan unsur fisik dalam tatanan kehidupannya, ini tidak dikehendaki oleh Islam. Adapun kami, kata beliau, “kami percaya bahwa di pundak setiap muslim terpikul amanah besar untuk mengorbankan seluruh jiwa, darah, dan hartanya demi membimbing umat manusia menuju cahaya Islam.” Dari sini, kita mendapatkan gambaran bahwa tujuan hidup seorang muslim tidaklah hanya dibatasi oleh region-region tertentu, akan tetapi dalam skala yang lebih luas adalah untuk seluruh umat manusia.

3. Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.[26]

Dalam pandangan al-Banna, nasionasionalisme dipahami dalam 5 bentuk.[27] Pertama, nasionalisme kebanggaan, yaitu rasa bangga generasi penerus terhadap pendahulunya diiringi adanya tanggung jawab kewajiban untuk mengikuti jejak para pendahulu yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang mesti disembah dan ditaati, Islam sebagai sistem hidup, Muhammad SAW. sebagai nabi dan rasul, lalu menyebarkan Islam sebagai akidah, syari’at dan pandangan hidup, menerapkan hukum dengan keadilan Islam, serta menyinari pola pikir manusia dengan keimanan.

Kedua, nasionalisme kebangsaan, yakni umat suatu bangsa mesti mengorbankan apa yang dimiliknya dari usahanya yang baik untuk menjadikan bangsa yang lebih baik. Nasionalisme ini selaras dengan apa yang ada di dalam Islam, dimana infak hendaknya memperhatikan kebutuhan orang terdekat dan selanjutnya. Allah berfirman, “Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.”[28] Rasul berkata kepada Abu Thalhah yang ingin menyedakahkan kebun kurma yang merupakan aset kekayaan yang paling ia cintai. Rasulullah SAW. bersabda: “Hendaklah kamu sedekahkan kebun kurma itu kepada kerabatmu.” Kemudian Thalhah membagikan kebun kurma tersebut kepada karib kerabat dan para anak pamannya.[29]

Ketiga, nasionalisme jahiliyyah yang berarti nasinalisme yang dianut oleh kaum jahiliyyah. Dimana para penyeru nasionalisme ini berupaya menghidupkan kembali semangat-semangat jahiliyyah yang telah dibumihanguskan oleh Islam, seperti semangat fanatisme kesukuan, sikap sombong, dan merasa lebih dari orang lain. Prinsip-prinsip nasionalisme seperti ini berusaha dihidukan kembali oleh partai-partai sekuler yang menuduh Islam terbelakang atau kuno, sehingga harus dikikis dari kehidupan. Oleh karena itu, Hasan al-Banna menyatakan bahwa nasionalisme seperti ini amat tercela dan berakibat buruk dan akan meruntuhkan nilai-nilai kemuliaan serta menghilangkan watak-watak terpuji.

Keempat, nasionalisme permusuhan, yaitu nasionalisme yang berlandaskan semangat merampas hak-hak orang lain tanpa alasan yang benar. Semangat seperti merupakan semangat jahiliyyah yang terus berkembang dari dulu sampai sekarang. Bahkan era jahiliyyah dulu ada sebuah sya’ir yang mengatakan, “Siapa yang tidak menganiaya orang lain, maka dia yang akan dianiaya.”[30]

Kelima, nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berlandaskan aqidah, bukan darah, keluarga, kepentingan, dan wilayah geografis tertentu. Ia merupakan nasionalisme yang menghapuskan semangat-semangat jahiliyyah yang mengusung kesukuan dan fanatisme buta, nasionalisme yang menyerap dan menampung seluruh jenis manusia dari suku bangsa, warna kulit, dan negara manapun, tanpa membeda-bedakannya. Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menghapuskan arogansi jahiliyyah dan kebanggaan terhadap nenek moyang, karena manusia berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Sehingga orang Arab tidak lebih baik dibanding orang A’jam (non Arab), kecuali dengan taqwa.”[31]

Nasionalisme Islam bersumber dari hadits Nabi: “Orang muslim itu saudara muslim yang lain.” Sedangkan sabdanya yang lain mengatakan: ”Orang-orang muslim itu satu darah, orang-orang yang berada di atas bekerja untuk menyantuni yang lain, dan mereka bersatu untuk melawan musuhnya.”[32] Ini berarti bahwa nasionalisme Islam tidak terbatas pada negara saja. Islam datang untuk menghapus budaya jahiliyah. Nasionalisme yang jahiliyah haruslah ditinggalkan oleh umat Islam. Ia berkata bahwa jika yang dimaksudkan dengan nasionalisme adalah menghidupkan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, menegakkan kembali peradaban yang telah terkubur dan digantikan oleh peradaban baru yang telah eksis dan bermanfaat, atau melepaskan dirinya dari ikatan Islam dengan klaim demi nasionalisme dan harga diri kebangsaan, maka pengertian nasionalisme seperti ini adalah buruk, hina akibatnya, dan jelek kesudahannya.

4. Internasionalisme

Kesempurnaan Islam merupakan bukti keparipurnaan ajaran yang dibawa nabi Muhammad SAW. Hal ini didsarkan kepada firman Allah yang menyatakan, “”Dan tidaklah kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”[33] Dengan kata lain, nabi Muhammad SAW. tidak hanya diutus kepada bangsa Arab, tetapi ke seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia. Hal ini menunjukan keuniversalan dan internasionalisme Islam yang tidak mengenal perbedaan suku, bangsa, dan sekat geografi.

Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,” demikian tulisnya.

Konsep internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna dalam program ishlāhul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi.

Untuk mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan firman Allah SAW., “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[34]

Hasan al-Banna berharap pada negerinya yaitu Mesir yang mendukung upaya dakwah Islamiyah, menyatukan seluruh bangsa Arab untuk kemudian melindungi seluruh kaum muslimin di penjuru bumi.[35]

Penutup

Pemikiran politik Hasan al-Banna merupakan salah satu referensi yang efektif dalam membangun kekuatan umat Islam menuju khilafah ‘alammiyyah (kepemimpinan dunia). Dimana dengan wujudnya persatuan Islam dibawah satu kepemimpinan akan mengembalikan kejayaan Islam dan muslimin (izzatul Islam wa al-muslimin).

Empat hal pokok dalam pemikiran al-Banna yang menjadi landasan politiknya. Pertama, Arabisme menurut Hasan al-Banna adalah karena faktor kesatuan bahasa. Tanpa Arab tidak ada Islam. Islam turun di dunia Arab, olehnya itu maka kaum muslimin perlu menjaga nama baik Arab. Kedua, Patriotisme dalam Islam dibolehkan selama tidak mengarah pada kesempitan pandangan jahiliyah. Kerinduan pada tanah air adalah sesuatu yang fitrawi, namun tetap dikendalikan oleh konsepsi Islam. Ketiga, Nasionalisme yang terdiri dari nasionalisme kebanggaan, kebangsaan, jahiliyyah, permusuhan, dan nasionalisme Islam.. Keempat, Internasionalisme adalah konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).



[1] Lihat Khozin Abu Faqih, Bersama 6 Mursyid ‘Am: Mengenal Perintis Kebangkitan Islam Abad 15 H, (Solo: Auliya Press, 2006), hal. 17

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna

[3] http://edosegara.blogspot.com/2009/11/spirit-menulis-seorang-hasan-al-banna.html

[4] Hasan al-Banna, Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I, cet. 15, (Solo: Era Intermedia, 2008), hal 21

[5] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā, (Kairo: Maktabah Wahbiyyah, 1992), hal. 51-52

[6] Ibid, hal. 52

[7] Ibid, hal. 53

[8] Ibid

[9] QS. Al-Munāfiqūn [63]: 8

[10] QS. Al-Nisā [4]: 141

[11] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah, hal. 57

[12] QS. Al-Ma’idah [5]: 44

[13] QS. Al-Ma’idah [5]: 45

[14] QS. Al-Ma’idah [5]: 47

[15] QS. Al-Nisā [4]: 65

[16] QS. Al-Ahzāb [33]: 36

[17] QS. Al-Nūr [24]: 51

[18] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah, hal. 59

[19] Ibid

[20] Ibid, hal. 63

[21] QS. Al-Mu’minūn [23]: 52

[22] HR. Muslim

[23] HR. Ibn ‘Asākir

[24] Hasan al-Banna, Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, cet. 15, (Solo: Era Intermedia, 2008), hal. 167-168

[25] ‘Abdul Hamid al-Ghazali, Haula Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li Nahdhah al-Ummah, terj. Wahid Ahmadi dan Jasiman, (Solo: Era Intermedia), hal. 195

[26] http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme

[27] Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, dalam http://www.eramuslim.com/manhaj-dakwah/fikih-siyasi/pemahaman-politik-islam.htm

[28] QS. Al-Baqarah [2]: 215

[29] HR. Muttafaf ‘Alaih

[30] ومن لا يَظلم الناس يُظلم

[31] إِنَّ اللهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ نخوةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَظُّمَهَا بِاْلآباَءِ، النَّاسُ ِلآدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ، لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى.

[32] ‘Ali ‘Abdul Hamil Mahmud, Wasā’il al-Tarbiyyah ‘ind Ikhwānul Muslimin Dirāsah Tahlīliyyah Tārikhiyyah, terj. Wahid Ahamadi dkk, “Perangkat-Perangkat Tarbiyyah Ikhwnul Muslimin”, cet. 5, (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 44

[33] QS. Al-Anbiyā [21]: 107

[34] QS. Al-Syūrā [42]: 13

[35] Hasan al-Banna, Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, cet. 15, (Solo: Era Intermedia, 2008), hal. 170

1 komentar:

sablon cup mengatakan...

mantap artikelnya, thank's.

www.kiostiket.com

Posting Komentar

About